Pernah Raih Penghargaan Internasional, Kini Hutan Wehea Terancam Akibat Akses Jalan Rusak
TERASKATA.Com, Kutai Timur – Hutan Lindung Wehea di Kabupaten Kutai Timur pernah menjadi simbol keberhasilan masyarakat adat dalam menjaga kelestarian alam.
Kawasan seluas 29 ribu hektare yang berada di Kecamatan Muara Wahau ini dikenal luas hingga ke mancanegara. Pada 2008, hutan adat tersebut berhasil mengharumkan nama Indonesia setelah meraih juara III Schooner Prize Award di Vancouver, Kanada.
Penghargaan bergengsi itu diberikan atas komitmen masyarakat adat Dayak Wehea yang secara konsisten melestarikan hutan, menjaga ekosistem, serta melindungi berbagai flora dan fauna endemik yang hidup di dalamnya.
Namun, gemilang prestasi itu kini terasa ironis. Dua dekade setelah penghargaan tersebut, kondisi Hutan Wehea justru berada di ujung tanduk.
Bukan karena berkurangnya komitmen masyarakat adat, melainkan karena akses jalan menuju kawasan ini rusak parah dan nyaris tidak bisa dilewati.
Akibatnya, aktivitas patroli penjaga hutan terhambat, logistik sulit disalurkan, dan keberlangsungan upaya pelestarian berada dalam ancaman serius.
Ketua Petkuq Mehuey (Penjaga Hutan Wehea), Yuliana Wetuq menuturkan kerusakan jalan sudah berlangsung sejak enam bulan terakhir. Kondisinya kian memburuk, terutama saat musim hujan.
“Ada jalan yang hampir putus, tinggal sedikit lagi. Kalau hujan terus, lama-lama tidak bisa dilewati lagi. Bahkan ada yang sudah retak di tengah jalan pas turun gunung,” ujar Yuliana.
Kerusakan itu berdampak langsung pada kegiatan operasional penjaga hutan. Lubang-lubang besar mempercepat kerusakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Padahal, hanya dengan kendaraan itulah mereka bisa masuk keluar hutan untuk melakukan patroli dan mengangkut logistik.
“Karena banyak lubang dalam-dalam, otomatis mobil rusak, motor rusak. Kalau semua rusak, kita aksesnya bagaimana? Untuk nge-drop bahan bakar, untuk logistik, semuanya terhalang,” jelas Yuliana.
Situasi ini membuat patroli hutan, yang menjadi kunci dalam menjaga kelestarian Hutan Wehea, berjalan tidak maksimal. Para penjaga kesulitan menjangkau titik-titik penting yang rawan aktivitas perambahan atau kebakaran.
“Patroli juga terhalang. Mau jaga hutan saja jadi susah. Kalau jalan tidak diperbaiki, semua aktivitas berhenti,” tegasnya.
Padahal, patroli rutin merupakan benteng terakhir bagi kelestarian Hutan Wehea. Selama ini, masyarakat adat Dayak Wehea berjuang keras tanpa banyak dukungan. Mereka mengorbankan tenaga, waktu, bahkan harta demi memastikan hutan tetap terjaga. Kini, perjuangan itu seperti terhenti di tengah jalan akibat infrastruktur dasar yang terabaikan.
Berbagai upaya sudah ditempuh. Sejak Mei lalu, proposal perbaikan jalan diajukan kepada perusahaan-perusahaan sekitar. Namun, hasilnya belum signifikan.
“Ada yang mau bantu, ada yang enggak. Jadi tidak kompak. Cuma yang bantu sekadar BBM dan dump truk. Tapi kalau tidak ada alat berat yang masuk, ya tidak bisa,” keluh Yuliana.
Situasi ini menunjukkan betapa rumitnya persoalan kolaborasi dalam menjaga lingkungan. Padahal, hutan Wehea tidak hanya bernilai penting bagi masyarakat adat, tetapi juga dunia. Kawasan ini menyimpan cadangan karbon, menjadi penyangga air, serta habitat penting bagi keanekaragaman hayati.
Lebih menyedihkan lagi, hingga kini belum ada perhatian dari pemerintah daerah. Masyarakat adat merasa dibiarkan berjuang sendirian.
“Selama ini pemerintah kabupaten tidak pernah bantu kami. Kami ini betul-betul nol, hanya mengandalkan swadaya masyarakat. Padahal, hutan lindung ini kan seharusnya jadi tanggung jawab bersama,” kata Yuliana.
Ia berharap pemerintah daerah maupun pusat tidak menutup mata terhadap kondisi ini. Menurutnya, jika akses jalan tidak segera diperbaiki dan dukungan operasional tidak diberikan, kelestarian Hutan Wehea hanya tinggal menunggu waktu untuk hilang.
“Maksud kami, tolonglah dibantu entah itu operasionalnya, perbaikan jalannya, supaya hutan tetap terjaga, hutan tetap aman. Kalau tidak dijaga, hutan itu akan habis,” tegasnya. (Ronny/teraskata)