Pola Asuh Ikut Sumbang Risiko, Pemkab Kutim Ubah Pendekatan Penanganan Stunting

TERASKATA.Com, Kutai Timur – Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) mulai menyoroti faktor pola asuh sebagai penyebab meningkatnya risiko stunting, bukan sekadar kekurangan gizi atau lemahnya ekonomi keluarga. Pendekatan ini disebut lebih relevan dengan kondisi di lapangan setelah ditemukan sejumlah kasus stunting justru terjadi di keluarga yang secara finansial mampu.

Asisten III Setkab Kutim, Sudirman Latif, menjelaskan bahwa stunting harus dilihat sebagai persoalan multidimensi. Menurut dia, pembenahan tidak cukup hanya dengan program bantuan pangan, tetapi juga menyasar perilaku pengasuhan dan kesiapan psikologis orang tua.

“Penyebab stunting itu sangat beragam. Tidak semua karena ekonomi lemah. Ada juga orang tua mampu secara finansial, tetapi cara pengasuhannya tidak tepat,” ujarnya, Senin (1/12).

Ia menuturkan, beberapa kasus stunting terjadi karena kurangnya pendampingan orang tua, minim interaksi, hingga jarak kelahiran yang terlalu dekat. Kondisi tersebut membuat kemampuan tumbuh kembang anak tidak optimal meski kebutuhan nutrisi sebenarnya terpenuhi.

“Anak bukan hanya butuh nutrisi, tetapi juga butuh pendampingan dan pola asuh yang benar,” tegasnya.

Pemkab Kutim kini mendorong pendekatan baru dengan memberikan pembinaan psikologis bagi orang tua, selain edukasi gizi. Fasilitas psikolog di rumah sakit daerah disebut dapat dimanfaatkan untuk membantu keluarga memahami pola asuh yang sesuai perkembangan anak.

Sudirman juga mengungkap bahwa Kutim saat ini menduduki posisi kedua nasional dalam proyek perubahan penanganan stunting yang dijalankan Dinas Pengendalian Penduduk dan KB (DPPKB). Pendekatan yang digunakan lebih menekankan analisis akar penyebab dibanding penanganan seragam.

“Kami telaah akar masalah satu per satu. Pendekatan ini bukan lagi menyamaratakan masalah, tetapi menargetkan faktor penyebabnya secara spesifik,” jelasnya.

Ia menegaskan penanganan stunting tidak bisa diserahkan pada satu instansi. Setiap organisasi perangkat daerah harus terlibat sesuai kewenangannya agar intervensi tepat sasaran.

“Kalau masalahnya perilaku, tentu yang harus dibenahi adalah perilakunya. Kalau terkait psikologi, harus ditangani ahli. Semua disesuaikan pada penyebab,” tutupnya.(adv)