APBD Kutim 2026 Anjlok, TPP ASN Wajib Disesuaikan

TERASKATA.Com, Kutai Timur – Koreksi besar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kutai Timur (Kutim) 2026 membuat pemerintah daerah harus mengetatkan struktur belanja.

Khususnya alokasi Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) untuk Aparatur Sipil Negara (ASN).

Penyesuaian ini bukan hanya karena kemampuan fiskal yang melemah, tetapi juga mengikuti ketentuan regulasi yang mengatur besaran belanja pegawai.

APBD 2026 disahkan Rp5,71 triliun, turun drastis dibanding angka 2025 yang mencapai Rp9,89 triliun.

Penurunan hampir setengah tersebut membuat ruang fiskal pemerintah daerah menyempit dan memaksa sejumlah pos belanja dikalkulasi ulang.

Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman menegaskan bahwa TPP ASN tidak mungkin dipertahankan pada level sebelumnya.

“TPP otomatis ikut terkoreksi. Besarannya belum final, tapi pasti ada penyesuaian,” ujarnya, Senin (1/12).

Penetapan TPP ASN tidak dapat dilakukan secara bebas oleh pemerintah daerah karena dibatasi oleh berbagai regulasi.

UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) mewajibkan belanja pegawai termasuk TPP tidak boleh melampaui 30 persen dari total APBD.

Selain itu, PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur bahwa pemberian TPP harus mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah serta didasarkan pada analisis jabatan dan beban kerja yang terukur.

Regulasi teknis juga diperjelas melalui Permendagri Nomor 6 Tahun 2021 yang menetapkan bahwa besaran TPP harus dihitung menggunakan bobot kinerja dan parameter objektif lainnya, sehingga tidak dapat ditetapkan tanpa formula dan standar yang jelas.

Dengan APBD yang merosot, Ardiansyah menegaskan bahwa formula tersebut wajib dipatuhi. “Penyesuaian dilakukan tetap mengikuti rumus yang sudah ditetapkan pemerintah. Tidak bisa keluar dari batasan itu,” katanya.

APBD 2026 disepakati dalam paripurna DPRD pada Kamis (27/11). Setelah revisi pendapatan dan belanja, total anggaran ditetapkan Rp5,71.

Pemerintah daerah kini harus menata ulang prioritas program agar belanja wajib tetap terpenuhi dan layanan publik tidak terganggu, meski ruang fiskal semakin ketat.(adv)