Teraskata.com

Dari Timur Membangun Indonesia

Realisasi Anggaran Pemprov Kaltim Rendah, Bukti Lemahnya Perencanaan

admin admin admin
Ir Seno Aji (Wakil Gubernur Kaltim)

TERASKATA.Com, Samarinda – Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Seno Aji mengungkapkan rendahnya realisasi anggaran di Provinsi Kaltim hingga pertengahan tahun 2025.

Ia membeberkan, Kaltim saat ini berada di antara 10 provinsi dengan penyerapan anggaran terendah secara nasional.

Selain rendahnya serapan anggaran, Seno juga mengungkapkan adanya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp2,5 triliun dan 27 temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada laporan tahun anggaran 2024.

”Laporan pertanggungjawaban sudah disetujui dan kita tetap konsisten untuk menyelesaikan arahan dari BPK,” kata Seno.

Terkait progres anggaran tahun 2025, ia berharap pergerakan signifikan terjadi mulai Agustus. Seno optimis kondisi itu berubah.

”Dengan realisasi di Agustus ini, mudah-mudahan pertengahan bulan depan sudah jauh lebih besar dari target,” kata Seno optimis.

Politisi Gerindra ini menyoroti dana karbon yang dalam perhitungan APBD dimasukkan sebagai bagian dari pendapatan, namun faktanya tidak ada dana yang diterima dari pemerintah pusat.

”Dana itu dimasukkan, tapi tidak ada dananya dari pusat. Sehingga kami minta ke Kementerian Dalam Negeri agar dana-dana tersebut dicoret. Kalau tidak, nanti terlihat seperti SiLPA, padahal bukan,” ungkapnya.

Adapun nilai SiLPA riil Kaltim, menurut Seno, berada di kisaran Rp 2,4 triliun dan akan masuk dalam pembahasan perubahan APBD.

Untuk diketahui, realisasi APBD merupakan salahsatu alat ukur untuk melihat implementasi dari kebijakan dan operasionalisasi pelaksanaan pengelolaan keuangan suatu daerah dalam upaya mewujudkan pelayanan publik yang optimal. Serta upaya dalam mendorong pembangunan ekonomi di daerah.

Sementara terkait Silpa yang besar bisa menjadi sinyal adanya kegagalan dalam menyerap anggaran untuk menghasilkan manfaat bagi masyarakat. Silpa yang besar dapat menandakan beberapa hal, mulai dari lemahnya perencanaan, ketidaksiapan teknis dan administrasi, hingga kehati-hatian berlebihan.

Dalam jangka panjang, Silpa yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat tidak mendapatkan pelayanan optimal karena program-program yang seharusnya dinikmati tidak dilaksanakan. (*)

[gnpub_google_news_follow]
Tutup