Mendagri Sebut Tenaga Honorer Banyak Diisi Timses dan Keluarga Kepala Daerah, juga tak Punya Keahlian

KALTIMTERASKATA.COM — Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut tenaga honorer bagian administrasi di lingkungan pemerintah daerah (Pemda) banyak diisi tim sukses (timses) atau keluarga kepala daerah.

Tito menyampaikan pernyataan ini di depan puluhan kepala daerah yang dikumpulkan dalam acara Penguatan Aparat pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di kantor Kementerian Dalam negeri (Kemendagri) pusat.

Saat itu, Tito menyinggung soal anggaran Pemda yang banyak dihabiskan untuk belanja pegawai, salah satunya honorer.

“Ini tenaga administrasi. Tenaga administrasi ini rata-rata adalah tim sukses atau keluarganya kepala daerah atau pejabat di situ,” papar Tito di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu (13/9), disadur dari laman YouTube StranasPK Official.

Tito menyatakan, pihaknya tidak mempersoalkan keberadaan tenaga honorer spesialis seperti tenaga kesehatan, perawat dan guru.

Namun, pegawai honorer bagian administrasi berlatar belakang timses atau keluarga kepala daerah ini tidak memiliki kerja yang jelas. Jumlah mereka terus menumpuk.

Mereka membawa orang-orang baru yang punya latar belakang timses atau keluarga sendiri.

“Dikasih kerjaan, jam 8 masuk, tidak punya keahlian, jam 10 sudah ngopi-ngopi, sudah hilang,” ucap Tito.

“Ganti pilkada. Ketemu pejabat baru. Tim suksesnya masuk lagi. Terus numpuk jumlah tenaga honorer yang tidak punya keahlian khusus,” tambahnya dengan tegas.

Tito pun menuturkan banyaknya tenaga honorer ternyata menjadi salah satu modus yang dilakukan kepala daerah guna melambungkan anggaran belanja pegawai.

Padahal, kata dia, banyak daerah bergantung pada kucuran dana dari pemerintah pusat lantaran memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kecil atau hanya sekitar 2 sampai 3 persen.

Tito lalu mencontohkan bahwa ada juga daerah yang menganggarkan belanja operasional 67 persen dari APBD.

Sementara, 90 persen keuangan Pemda itu bersumber dari pemerintah pusat. Mirisnya, sebanyak 90 persen dana itu sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai mulai dari gaji, tunjangan, dan lainnya.

“Dan ini ada modus yang lain yang memang harus diselesaikan. Ini cukup mendasar ini, yaitu banyaknya tenaga honorer,” tutur Tito.

Dia kemudian mengamati, wilayah yang bergantung pada transfer dari pemerintah pusat, anggarannya “tersedot” ke belanja pegawai yang tidak memiliki keahlian khusus.

Lebih jauh mereka juga membuat banyak program kegiatan yang operasionalnya disalurkan untuk pegawai.

“Belanja modal yang betul-betul menyentuh untuk rakyat, membangun jalan, mungkin cuma 15-20 persen. Jadi tidak ada kemajuan apa-apa,” tandas Tito.

Tito menekankan, APIP mesti masuk lebih dalam dan memantau berbagai perencanaan instansi pemerintah tempat di mana mereka bertugas.

Menurutnya, APIP mempunyai fungsi strategis untuk mencegah terjadinya tindak pidana oleh instansi atau kepala daerah terkait.

Mereka diharapkan tidak hanya mengaudit masalah pidana di instansi terkait, melainkan seperti mutasi, perilaku anggota, hingga efisiensi anggaran.

“Salah satu upaya dari pencegahan itu adalah dengan memperkuat APIP-APIP ini, sehingga tidak terjadi masalah hukum…Prinsipnya bagaimana kita memperkuat pencegahan,” imbuhnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *