Catatan: Koordinator Pengembangan SDM PC PMII Kutim, Rail Fauzan
Ketika mendengar kalimat “Hijau” imajinasi kita secara psikologi dituntun pada kondisi harmonis masyarakat adat di masa lalu. Tentang bagaimana mereka menggarap tanah dengan berkebun dan bertani, menjarah sungai hingga memanen hasil alam sebagai sumber ekonomi tanpa merusaknya. Mereka tidak hanya mengambil apa yang mereka butuhkan kemudian ditinggalkan, tetapi juga memastikan bahwa alam tetap lestari bukan hanya untuk kepentingan orang-orang sezamannya tetapi juga untuk generasi mendatang.
Kini, generasi mendatang adalah kita yang Imajinasinya dihantui atas peristiwa yang melanda Sumatera dan Aceh yang secara samar-samar merepresentasikan Kutai Timur dalam konteks pendapatan Ekonomi. Selain itu, imajinasi kita juga dibenturkan oleh kondisi dan situasi bumi Kutai Timur atas pengrusakan alam akibat aktivitas tambang dan mineral lainnya yang tidak terkontrol dan deforestasi untuk kelapa sawit yang semakin meluas. Pertanian yang sangat bergantung pada Irigasi, kini sangat terganggu oleh Aktivitas tambang, musim kemarau sawah kekeringan, musim hujan kebanjiran dari limpasan air hasil dari pertambangan.
Dan hadirnya Narasi “Green Ekonomi” untuk Kutai Timur merupakan langkah yang sangat positif untuk pengembangan ekonomi Ramah lingkungan dan keluar dari kerusakan Alam serta mempersiapkan Kutai Timur pasca tambang. Namun tanpa kolaborasi yang kolektif dari pemerintah daerah dan masyarakat setempat hal tersebut terbilang sangat nihil untuk diwujudkan.
Sebagaimana jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat total konsesi tambang di Kutai timur sekitar 1,6 juta hektar (Satu Koma Enam Juta Hektar) dan konsesi sawit sekitar 529.586 (Lima Ratus Duah Puluh Sembilan Ribu Lima Ratus Delapan Puluh Enam) hektar dengan luas daratan Kutai timur sekitar 3.574.750 hektar (Tiga juta Lima Ratus Tujuh Puluh Empat Ribu Tujuh Ratus Lima puluh Hektar). Yang jika dikalkulasikan 1,6 juta hektar ditambah 529,5 hektar maka hasilnya 2.129 hektar. Dari hasil tersebut, sisa daratan Kutai timur hanya tersisa sekitar 1.151,421 (Satu juta seratus lima puluh satu ribu empat ratus Duah Puluh satu hektar) dengan jumlah penduduk sekitar 456.333 jiwa.
Artinya sekitar 69 persen daratan Kutai timur dikangkangi oleh Aktivitas yang merusak lingkungan, belum lagi ditambah dengan tambang-tambang yang ilegal. Jika dilihat pula dari berbagai jurnal dari tahun 2017 ke atas tercatat bahwa Luas daratan layak untuk ekonomi hijau Kutai timur hanya sisa sekitar 576 ribu hektar dan sebagiannya adalah konsesi kawasan hutan dan lahan yang tidak sesuai. Maka secara fungsional sisa daratan dari konsesi tersebut untuk pertanian, perkebunan dan bentuk Ekonomi Hijau lainnya sudah tidak Koheren.
Melihat data tersebut, kita akhirnya bertanya-tanya sembari mempertimbangkan banyak hal untuk mewujudkan Green Ekonomy Kutim, mulai dari Kapasitas dan Kualitas Sumber Daya Manusianya (SDM) Selain itu Keterbatasan teknologi pengelolaan Energi Baru dan minimnya keterampilan masyarakat Kutai timur di bidang digital, serta Infrastruktur yang buruk untuk menunjang dan memudahkan Akses Ekonomy, menjadi point yang membuat kita berpikir ulang seperti apa metode yang tepat untuk mewujudkan Green Ekonomy.
1. SDM Kutai Timur
Jika dilihat dari program Pemerintah Kabupaten Kutai timur, Pelatihan yang terlaksana cenderung pada pengembangan kualitas untuk menciptakan pekerja tambang, mulai dari Pelatihan Operator alat berat hingga mekanik alat berat dan lain-lain. Artinya persiapan SDM Kutai timur untuk melek terhadap Dunia digital, Pertanian, Perkebunan ataupun perikanan masih terbilang minim. Sedangkan, potensi yang ingin kita wujudkan adalah di sektor ekonomi Hijau.
2. Keterbatasan Literasi Digital
Kurangnya program edukasi digital, akses internet yang belum merata hingga kurangnya infrastruktur digital untuk masyarakat juga menjadi persoalan vital. Dimana dengan fasilitas Literasi digital yang baik akan menunjang akses tentang praktek ekonomi hijau atau memudahkan untuk berpartisipasi dalam program-program serta pemasaran produk lokal masyarakat Kutai timur.
3. Infrastruktur yang tidak memadai
Kurangnya perbaikan jalan untuk meningkatkan mobilitas dan aksesibilitas masyarakat juga menjadi tantangan yang tidak sepele. Namun, beberapa tahun belakangan ini, Kita justru dihadapkan dengan berbagai keluhan masyarakat hingga pendatang perihal beberapa jalanan yang rusak di berbagai area Kutim.
Beberapa hambatan tersebut tentu adalah tantangan untuk untuk mewujudkan Green Ekonomy yang membutuhkan kerjasama secara kolektif, Baik itu dari Masyarakat, Swasta dan Khususnya pemerintah Daerah. Maka pelatihan-pelatihan untuk menunjang program Ekonomi Hijau seharusnya menjadi prioritas utama sejak dini, sebab beberapa pelatihan yang ada pada saat ini tidak sejalan dengan potensi ekonomi yang ingin diwujudkan, dan tanpa langkah yang kongkrit dan kerjasama yang kolektif tentu dan sangat mungkin “Green Ekonomy” hanya menjadi impian yang bermain-main dalam Utopia kita. (*/teraskata)


