TERASKATA.Com, Kutai Timur – Dinas Pertanahan Kutai Timur (Kutim) mencatat sebanyak 32 pengaduan sengketa lahan masuk sepanjang 2025.
Dari jumlah tersebut, 17 kasus telah melalui proses mediasi, namun hanya lima yang benar-benar dinyatakan selesai dengan kesepakatan antar pihak.
Kepala Dinas Pertanahan Kutim, Simon Salombe saat dijumpai di ruang kerjanya, Kamis (27/11/2025) menjelaskan sebagian besar aduan berasal dari masyarakat di wilayah Sangatta dan Bengalon.
“Paling banyak itu antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, terutama sawit,” ujarnya.
Proses penyelesaian sengketa, kata Simon, dilakukan melalui tahapan mediasi. Mulai dari klarifikasi, pemanggilan para pihak, hingga pengkajian dokumen-dokumen yang diajukan.
Namun, tidak semua perkara dapat diselesaikan melalui mediasi. Karena berbagai kendala, termasuk tidak tercapainya kesepakatan meski telah dilakukan pertemuan berkali-kali.
“Kalau sudah tiga sampai empat kali pertemuan tapi tidak ada jalan keluar. Biasanya kami keluarkan surat kesimpulan bahwa proses mediasi selesai. Selanjutnya, para pihak dipersilakan menempuh jalur hukum,” ujarnya.
Dinas Pertanahan Ungkap Kerumitan Sengketa Tanah
Salah satu penyebab rumitnya penyelesaian sengketa tanah, adalah adanya surat-surat kepemilikan yang terbit secara tumpang tindih. Terutama pada kasus lahan yang sebelumnya sudah dibebaskan perusahaan secara kelompok.
“Kadang-kadang ada anggota kelompok yang membuat surat individu. Bahkan ada surat yang berlaku surut. Itu yang membuat masalah semakin rumit,” katanya.
Namun, penyelesaian juga sering terkendala karena perusahaan enggan membuka dokumen pembebasan lahan dengan alasan kerahasiaan. Sehingga proses verifikasi dari dinas menjadi terhambat.
“Kalau dokumennya tidak diberikan, kita hanya bisa mengandalkan pengakuan perusahaan. Ini yang membuat mediasi banyak yang menggantung,” jelasnya.
Dinas Pertanahan Kutim, lanjut Simon, hanya memiliki kewenangan hingga tahap mediasi. Bila lahan yang disengketakan sudah masuk Hak Guna Usaha (HGU) atau bersertifikat, kewenangan berpindah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Masyarakat harus paham bahwa ada batas kewenangan kami. Kalau sudah HGU atau sertifikat, kami rekomendasikan ke BPN,” tegasnya.
Simon berharap ke depan perusahaan lebih kooperatif dan masyarakat semakin teliti dalam memahami status lahannya, sehingga konflik tidak berlarut dan proses mediasi berjalan lebih efektif. (Ronny/teraskata)


