‘Keok’ di MK Agus Haris Masih Ngotot Soal Kampung Sidrap, Ada Apa ?
TERASKATA.Com, Bontang – Kisruh soal Kampung Sidrap, Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur sepertinya tak ada habisnya.
Meski Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan perkara tapal batas Kampung Sidrap, itu belum cukup menghentikan polemik panjang perebutan wilayah antara Kutim dan Bontang.
Dalam putusan MK baru-baru ini, menolak gugatan Pemkot bontang yang mempersoalkan batas wilayah Kota Bontang dan Kutim. Putusan itu menguatkan status Kampung Sidrap sebagai bagian dari wilayah Kutai Timur.
Atas dasar putusan MK, Pemkab Kutim meminta kepada Pemkot Bontang untuk mencabut status RT di Dusun Sidrap yang selama ini diklaim sebagai bagian dari Kota Bontang.
Namun demikian, Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris menolak permintaan itu. Ia berdalih putusan MK dalam amarnya tidak menyatakan Sah atau tidak Sah dusun sidrap bagian dari Wilayah Adminstrasi Kutai Timur.
Menurut Agus Haris, MK tidak memiliki kewenangan serta kemampuan menetukan titik-titik koordinat, sehingga MK berpendapat yang tepat melakukan itu adalah pembentuk UU dikarenakan Sistem Kebijakan Hukum Terbuka (open legal Policy) yang tidak bisa di langar oleh MK sendiri oleh kerena sistem ini MK sendiri yang menciptakan pertama kali dalam Putusanya Nomor 010/PPU-III/2005, yang membedakan antara konstitusionalitas dan kebijakan.
‘‘Atas dasar tersebut MK memerintahkan Pembentuk UU segera melakukan peninjauan batas daerah yang dimohonkan. (Putusan hal. 109, 110, Pertimbangan Hukum 3.15.3 dan 3.15.4,” demikian Agus Haris dalam rilisnya yang diterima Redaksi Teraskata.com Selasa, (07/10/2025)
Alasan lain yang membuat Agus Haris ngotot untuk tidak mencabut RT yang diklaim Bontang di Wilayah kampung Sidrap, karena menurutnya MK dalam pertimbangan hukumnya menitikberatkan pada dua aspek dalam penentuan batas wilayah.
‘‘Aspek pertama mendengarkan aspirasi masyarakat yang ada diperbatas antara daerah, dan aspek kedua penetuan titik koordinat dilakukan oleh Institusi/Lembaga yang benar-benar menguasai/memahami dengan baik terkait pemetaan. Oleh karena yang akan mengalami dampak buruk dari penentuan batas wilayah adalah masyarakat yang ada di perbatasan. Karena paradigma penetuan pemekaran wilayah bukan hanya batas adminitrasi yang bertumpuh pada garis-garis wilayah semata melainkan pada pelayanan publik yang akan mementukan kesejatraan masyarakat (Putusan hal. 107, 108, Pertimbangan Hukum 3.15.2),” lanjut Agus Haris.
Agus Haris menegaskan, bahwa pembentukan 7 RT yang ada di dusun sidrap bukan dibentuk dengan tiba masa tiba akal melaikan dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No. 18 tahun 2002 tentang Pembentukan Kelurahan Kanaan, Gunung Telihan, Guntung, Api-Api, Gunung Elai dan Tanjung laut Indah. Itu menurutnya jauh sebelum keluarnya permendagri Nomor 25 tahun 2005.
”Tidak menjadi sebuah Kelurahan Guntung jika 7 rt yang ada di sidrap tidak masuk bagian dari kelurahan guntung. Jadi jelas, bahwa sidrap itu wilayah guntung. Ada perdanya, maka keberadaan 7 rt itu adalah sah secara hukum, jadi pernyataan Ketua DPRD Kutim tendensius,” beber Agus Haris.
Terkait adminstrasi kependudukan yang dianggap dosa administrasi, Agus Haris menjelaskan, keberadaan admintrasi kependudukan masyarakat sidrap menurutnya sudah ada jauh sebelum Bontang menjadi Kota.
‘‘Masih KTP Siak pada saat itu, jadi berbeda halnya jika administrasi kependudukan masyarakat itu ada setelah keluar Permendagri 2005. Maka dari itu pemerintah Kota Bontang memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat Sidrap sampai tahun 2013. Dan itu terhenti karena menurut penjelasan dari pihak Pemkot pada saat itu bahwa ada rekomendasi dari BPK yang saya sendiri tidak pernah lihat rekomndasi tersebut dan coba saya temui BPK pada saat itu masih anggota DPRD bontang tapi pihak BPK juga tidak bisa menunjukan rekomendasi itu hingga saat ini,” katanya.
”Jadi saya tegaskan bahwa adminstarsi kependudukan masyarakat sidrap Sah secara hukum dan mereka warga bontang yang dalam hukum hak-hak mereka wajib kita penuhi karena itu adalah hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi,” lanjut Agus Haris.
Sementara soal rencana pemerintah Kutim yang melakukan penertibah Administrasi kependudukan setelah putusan MK, menurut Agus Haris, itu adalah hak pemerintah kutim. Hanya saja, ia mengingatkan agar pemkab kutim tidak melakukan pemaksaan dan intimidasi kepada masyarakat untuk memperbaharui administrasi kependudukan mereka.
”Karena itu adalah tindakan yang melanggar Hak Asasi manusia dan Hak Warga Negara yang di jamin oleh konstitusi yakni uu dasar 45. Karena dalam konstitusi kita Hak Asasi manusia itu dilindungi dan Hak Warga Negara itu di penuhi. Jadi negara tidak boleh sewenang-wenang kepada warga negara hanya karna alasan UU. Sebab menegakan UU harus patuh dan taat pada UU, jadi warga negara berhak berkumpul dan berserikat serta tinggal dimana saja dan memilih administrasi kependudukan dimana saja di republik ini,” tegasnya.
Meski demikian, Agus Haris membenarkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Hanya saja, putusan itu tidak menutup hak masyarakat untuk tetap berdomisili di kampung Sidrap dan ber KTP Bontang.
Upaya untuk memperjuangkan Kampung Sidrap kembali masuk dalam wilayah Kota Bontang menurut Agus masih ada. Mulai dari Legislatif Reviuw ( Revisi UU) Eksekutif Reviuw (Perubahan Peraturan) termasuk mengajukan kembali Uji Materi Ke MK.
Uji Materi ke MK menurutnya masih memungkinkan karena sebagaimana diatur dalam pasal 60 ayat UU No. 8 tahun 2011 perubahan UU 24 tahun 2003 tentang MK. Yang menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat pasal dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji tidak dapat dimohonkan kembali. Kecuali jika materi muatan dalam UUD 45 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 peraturan MK Nomor 2 tahun 2021, dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 45 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan pemohon yang berbeda.
”Jadi sejalan dengan hal tersebut diatas dan juga pertimbangan hukum MK yang bagian tidak terpisahkan dari Amar putusannya maka Langkah masyarakat sidrap saat ini untuk melakukan upaya Ke DPR RI dan juga ke pemerintah dalam hal ini mendagri dan bahkan mau mengajukan uji materi kembali sangat terbuka dan dilindungi oleh UU. Jelas tidak ada istilah ruang tertutup dalam hal masyarakat untuk memperjuangkan keadilan sosial bagi mereka,” beber Agus Haris. (teraskata)