Opini: Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Sebagai “Payung” Bagi Penyintas Kekerasan Seksual?
Oleh: Shinta Ath Thoriq Apriari (Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam UINSI Samarinda)
DEWASA ini, kekerasan seksual yang menjamur di lingkup pendidikan perguruan tinggi kini sudah sangat meresahkan. Pasalnya, belum lama ini tepatnya akhir Oktober lalu, terjadi kasus pelecehan seksual yang dirasakan oleh mahasiswi Universitas Riau saat sedang bimbingan skripsi. Berbagai masalah kekerasan seksual yang dialami mahasiswa disebabkan adanya relasi kuasa pelaku yang bermain dengan melayangkan ancaman balik sehingga membuat korban tunduk.
Ketakutan korban tersebut semakin jadi ketika tuntutan berbalik arah karena tidak seiras dengan adanya kepastian hukum, ironisnya malah menjadi boomerang bagi korban. Pihak kampus dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sudah cukup kooperatif dalam menangani kasus seperti ini, akan tetapi instrumen yang digunakan seperti Standar Operasional Prosedur (SOP), Peraturan Rektor, dan Kode Etik saja, tidak cukup. Ketika melihat realita yang terjadi, instrumen hukum tersebut mirisnya sama sekali tidak bisa mengakomodasi kekerasan seksual yang ada.
Berdasarkan permasalahan di atas, kemunculan Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 dianggap sebagai “angin segar” bagi penyintas kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Apabila kekerasan seksual masih terjadi di lingkungan pendidikan, sedikit banyaknya akan mencederai empat pilar kesejahteraan sosial di Indonesia. Oleh karenanya, penting untuk kita mengetahui kebijakan tersebut menjadi payung bagi para penyintas.
Eksistensi regulasi anyar tersebut menuai kontroversi dari berbagai organisasi masyarakat, diantaranya Muhammadiyah beserta 166 kampus yang berafiliasi dengan PTS Muhammadiyah. Penolakan yang mereka sampaikan didasari atas pandangan Permendikbudristek ini merupakan regulasi yang sifatnya liberalis dianggap dapat memberi akses legal seks bebas di lingkungan perguruan tinggi. Adapun kalimat multitafsir yang menjadi perdebatan pada pasal 5 ayat b, f, g, h, j, l, dan m yang menyatakan kalimat “tanpa persetujuan korban”.
Beralih dari argumen kontradiksi di atas, kembali ke nasib para penyintas kekerasan seksual di kampus yang saat ini mengidamkan keadilan hukum. Berdasarkan pengakuan dari HopeHelps Network, sebuah layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di kampus-kampus Indonesia regulasi tersebut pantaslah dikatakan sebagai “payung”. Mengapa demikian? Karena kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak bisa ditolerir apalagi di satu sisi para pelaku masih dapat leluasa kesana-kemari bermuka tembok.
Tinggalkan Balasan