Opini: Mendagri Tak Berwenang Memberhentikan Kepala Daerah atas Inisiatif Sendiri
Oleh : Muh. Nandi., S.H (Advokat Muda Risnal & Partners)
KERUMUNAN yang terjadi sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab, kegiatan Tabligh Akbar di Megamendung Bogor Jawa Barat dan acara Maulid sekaligus acara pernikahan putri Habib Rizieq Shihab di kawasan Petamburan Jakarta yang diduga melanggar protokol kesehatan. Akibatnya tiga Kepala Daerah dipanggil pihak Kepolisian untuk dimintai keterangan yaitu Gubernur Jakarta, Gubernur Jawa Barat dan Bupati Bogor.
Dampak dari kerumunan tersebut menjadi penyebab di terbitkannya instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 yang ditandatangani pada hari Rabu 18 November 2020.
Hal itu kemudian dibantah oleh Kemendagri, bahwa instruksi tersebut dimaksudkan untuk penyelenggaraan Pilkada serentak yang aman dari penularan Covid-19. Instruksi tersebut merupakan hasil analisis dan evaluasi rutin yang dilakukan Mendagri bersama kementerian lain dan lembaga terkait dalam hal penyelenggaraan pilkada serentak. Sehari sebelum Instruksi tersebut ditandatangani, Presiden menggelar rapat terbatas. Presiden meminta kepada Mendagri supaya menegur Kepala Daerah yang melanggar protokol kesehatan. Kepala Daerah harus bisa memberikan contoh yang baik kepada masyarakat.
Pada poin 5 Instruksi Mendagri tersebut menyatakan bahwa Kepala Daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi pemberhentian.
Perlu diketahui bahwa instruksi Mendagri tidak bisa dijadikan dasar hukum dalam pemberhentian Kepala Daerah. Peraturan perundang-undangan yang bersifat Instruksi sudah dihapus dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan . Proses pemberhentian Kepala Daerah yang dianggap melanggar ketentuan pasal 67 huruf (b) tetap berdasar pada pasal 78 jo pasal 80 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada dasarnya Presiden tidak berwenang memberhentikan Gubernur atas inisiatif sendiri begitu juga dengan Mendagri tidak berwenang memberhentikan Bupati/Walikota atas kehendak atau inisiatif sendiri. Kewenangan Presiden dan Mendagri hanyalah memberhentikan sementara Kepala Daerah tanpa melalui usulan DPRD dan putusan Mahkamah Agung karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila dakwaan tersebut tidak terbukti dalam persidangan maka Presiden dan Mendagri wajib mengaktifkan kembali Kepala Daerah tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah pemberhentian Kepala Daerah yang tidak menaati seluruh peraturan perundang-undangan tetap harus dilakukan oleh DPRD. Jika DPRD berpendapat bahwa Kepala Daerah mengeluarkan kebijakan yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan berdampak luas bagi masyarakat, maka DPRD dapat menggunakan hak interpelasi dan hak angket untuk meminta keterangan kepada Kepala Daerah dan melakukan penyelidikan terhadap kebijakan tersebut.
Jika hasil penyelidikan DPRD cukup beralasan bahwa Kepala Daerah melanggar peraturan perundang-undangan, maka pendapat DPRD tersebut diteruskan ke Mahkamah Agung untuk diperiksa, diadili dan diputus.
Mahkamah Agung diberi waktu selama 30 hari untuk memeriksa usulan DPRD bahwa Kepala Daerah diduga melanggar ketentuan pasal 67 huruf (b) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang putusannya bersifat final dan mengikat. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Kepala Daerah tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, Pimpinan DPRD kemudian menyampaikan usul pemberhentian Gubernur kepada Presiden dan usulan pemberhentian Bupati/Walikota kepada Mendagri. Presiden dan Mendagri wajib memberhentikan Kepala Daerah tersebut paling lambat 30 hari sejak diterimanya usul pemberhentian dari pimpinan DPRD.
Tinggalkan Balasan