Oleh : Mira Susilawati (Mahasiswi IAIN Samarinda)
Kita ketahui akhir-akhir ini banyak aksi demonstrasi atau unjuk rasa dihampir seluruh wilayah Indonesia. Demonstrasi terkait pengesahan undang-undang cipta kerja atau dikenal dengan Omnibus Law.
Indonesia adalah negara demokrasi, yang dimana warga negaranya memiliki hak yang setara. Berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap produk produk hukum yang dibuat oleh Negara, baik itu DPR maupun Presiden.
Negara yang menganut sistem demokrasi, tidak akan asing dengan adanya istilah demonstrasi atau unjuk rasa. Demonstrasi merupakan salah satu cara rakyat untuk menyuarakan pemikiran atau aspirasi mereka secara bebas di muka umum kepada pemerintah. Demonstrasi sah dilakukan apabila sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kebebasan rakyat dalam menyampaikan pendapat telah tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 yang berisi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Pasal ini menyatakan bahwa warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat maupun aspirasi melalui unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan mimbar bebas.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 9 juga tertulis “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dengan tidak memandang batas-batas”.
Salah satu diantara banyaknya alasan terjadinya demonstrasi adalah, karena rakyat merasa adanya ketidakjelasan atau ketidakadilan yang terjadi didalam pemerintahan yang dinilai merugikan rakyat. Namun aksi demonstrasi ini justru identik dengan anarkis, ricuh dan tawuran antar demonstran dengan aparat hukum.
Aksi demonstrasi yang seharusnya menjadi tempat menyampaikan aspirasi, berubah menjadi medan tempur yang akhirnya banyak membuat pihak-pihak dirugikan, mulai dari berupa harta, kerusakan, ketidaknyamanan bahkan sampai nyawa. Tak jarang banyak orang tua yang melarang anaknya untuk ikut aksi, karena demonstrasi yang mereka maknai hanya berisi kekerasan seakan-akan anaknya akan terjun ke dalam medan pertempuran.
Dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, ada beberapa jenis demo yang dilarang:
1. Demo yang menyatakan permusuhan, kebencian dan penghinaan.
2. Demo di lingkungan istana kepresidenan.
3. Demo di luar waktu yang ditentukan.
4. Demo tanpa pemberitahuan tertulis kepada polri.
5. Demo yang melibatkan benda-benda yang membahayakan.
Seharusnya dalam menyampaikan pendapatnya di muka umum diperlukan adanya timbal balik. Yaitu adanya kewajiban dan tanggungjawab. Sebagai warga negara, kewajiban dan tanggungjawab yang harus dilaksanakan dalam demonstrasi antara lain, menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan (Sudah diatur dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum).
Dengan begitu apabila sebuah kewajiban telah dilaksanakan dengan tanggungjawabnya maka ia akan mendapatkan haknya sebagai warga negara dan kegiatan demo akan terlaksana dengan tertib.