Wabup Kutim Bongkar Rahasia Beternak Sapi Untung Puluhan Juta!
TERASKATA.Com, Kutai Timur – Wakil Bupati Kutai Timur (Kutim), Mahyunadi menegaskan pentingnya pengembangan sektor peternakan sapi sebagai usaha alternatif masyarakat setelah melakukan studi tiru ke Kabupaten Malang, Jawa Timur, baru-baru ini.
Dalam kunjungannya, Mahyunadi meninjau tiga model pengelolaan ternak, yakni peternakan skala perusahaan, peternakan rumahan, serta bengkel ternak, yang dinilai berhasil memberikan keuntungan signifikan bagi para peternaknya.
“Kalau di sana (Malang) kan mereka betul-betul beternak untuk mencari untung. Kalau di sini (Kutim) beternak karena dibantu kan, jadi agak beda (mindset),” ujar Mahyunadi usai dikonfirmasi di depan kantor Bupati.
Di peternakan skala perusahaan (PT Agrisatwa Fajar Utama Barokah), sistem yang digunakan adalah penggemukan sapi selama 100 hari. Sapi yang awalnya dibeli dengan harga Rp18 juta dapat dijual hampir dua kali lipat setelah diberi pakan campuran 14 konsentrat ditambah hijauan. Metode ini dinilai efektif karena menghasilkan keuntungan dalam waktu singkat.
Sementara di peternakan rumahan, Mahyunadi menemukan pola pengelolaan yang lebih sederhana namun tetap menguntungkan. Seekor anak sapi dengan bobot lahir 50 kilogram bisa mencapai berat 800 kilogram setelah dipelihara tiga tahun. Hasil penjualannya dapat mencapai Rp40 juta, dengan rata-rata keuntungan setara Rp1,5 juta per bulan bagi peternak.
“Bagi orang-orang yang punya uang, dari pada simpan di bank ya kan, mending bikin kandang pelihara 20 ekor sapi, bisa mempekerjakan satu sampai dua orang,” imbaunya.
Adapun bengkel ternak menjadi model yang unik. Sapi kurus dibeli seharga Rp7–10 juta, kemudian digemukkan dalam waktu enam bulan hingga layak jual dengan harga Rp30 juta.
“Luar biasa. Dari sapi yang hampir tidak terurus bisa menghasilkan keuntungan tiga kali lipat. Jadi ilmu itu yang perlu memang ya, kalau kita enggak ke sana kan kita enggak ngerti ya,” katanya.
Dorong Balai Benih dan Peternakan Alternatif
Melihat potensi tersebut, Mahyunadi menyatakan akan mendorong instansi terkait membangun balai benih sapi di Kutim agar masyarakat dapat memperoleh bibit yang jelas dan berkualitas. Hal ini dinilai penting karena salah satu penyebab kerugian beternak sapi di Kutim adalah bibit afkir yang tidak produktif.
“Kalau masyarakat membeli bibit dari luar tanpa jaminan kualitas, ya akhirnya rugi. Dengan balai benih, bibit bisa dipastikan bagus sehingga peternak kita juga untung,” jelasnya.
Mahyunadi juga menekankan masyarakat tidak dianjurkan lagi memelihara sapi Bali, karena kurang menguntungkan untuk daging. Sapi Bali lebih cocok dijual pada musim kurban, sementara untuk kebutuhan konsumsi daging lebih prospektif menggunakan sapi jenis BX atau Brahman.
Manfaatkan Lahan Nganggur untuk Pakan
Selain ketersediaan bibit, kunci lain dalam usaha peternakan adalah pakan. Menurut Mahyunadi, Kutim memiliki potensi besar karena banyak lahan nganggur, termasuk bekas tambang, yang dapat dimanfaatkan untuk menanam jagung sebagai pakan sapi.
“Kalau untuk tanam sawit mungkin susah di lahan bekas tambang, tapi untuk jagung itu bisa. Bahkan jagung jantan yang kecil pun sangat baik untuk pakan sapi. Ini bisa jadi solusi,” ungkapnya.
Mahyunadi menilai, peternakan bisa menjadi alternatif usaha yang menjanjikan bagi masyarakat Kutim. Selain tidak membutuhkan lahan luas, usaha ini juga dapat membuka lapangan kerja serta memperkuat ketahanan pangan.
Meski demikian, ia menegaskan rencana tersebut masih dalam tahap kajian. Pemerintah tidak ingin terburu-buru menjalankan program tanpa perhitungan matang agar tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Jadi kalau saya tidak ingin membuat program yang kemudian kita kerjakan terus wasting money (membuang-buang uang), walaupun kan uang APBD dikumpul dari pajak masyarakat nih. Tapi harus betul-betul efisien,” tegas Mahyunadi.
Ubah Mindset Beternak
Lebih jauh, Mahyunadi menyebut perbedaan utama antara peternak di Malang dan Kutim adalah soal mindset. Di Malang, masyarakat beternak dengan tujuan mencari keuntungan. Sementara di Kutim, banyak warga yang beternak karena mendapat bantuan, sehingga kurang serius mengelola usaha tersebut.
“Mindset ini yang harus kita ubah. Kalau ingin beternak, harus dengan ilmu, niat, dan perhitungan usaha. Jangan lagi beternak hanya karena diberi bantuan,” pungkasnya. (ronny/teraskata)