Potensi Besar Tanpa Pasar, Sorgum Kutim Masih Jalan di Tempat
TERASKATA.Com, Kutai Timur – Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) melalui Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Peternakan (DTPHP) pernah melakukan uji coba penanaman sorgum pada tahun 2022 hingga 2023.
Upaya tersebut merupakan bagian dari program nasional Kementerian Pertanian yang digalakkan pasca perang antara Rusia–Ukraina, sebagai langkah memperkuat ketahanan pangan melalui diversifikasi sumber karbohidrat.
Kepala DTPHP Kutim, Dyah Ratnaningrum menjelaskan penanaman sorgum dilakukan di Kecamatan Bengalon dan Rantau Pulung.
Program itu juga sempat melibatkan Bupati Kutim dalam kegiatan tanam perdana. Namun, uji coba tersebut tidak berlanjut karena kendala utama terletak pada pemasaran hasil panen.
“Pemerintah pusat waktu itu menyerukan ‘ayo tanam sorgum’ secara masif. Nah, Kutai Timur sempat mencoba tanam sorgum. Akan tetapi pada saat petani panen tidak ada yang beli,” kata Dyah saat dijumpai di Gedung Serbaguna (GSG) Bukit Pelangi, Kecamatan Sangatta Utara, Rabu (15/10/2025).
Ia menuturkan, pada awalnya ada pihak yang berkomitmen membeli hasil panen sorgum, namun hanya berlangsung sekali. Setelah itu, tidak ada lagi pembeli, sehingga petani enggan melanjutkan budidaya.
“Awalnya ada pihak yang menjanjikan akan membeli sorgum hasil panen, tapi hanya sekali saja. Setelah itu tidak ada lagi pembeli,” ujarnya.
Dyah menambahkan, kendala lain terletak pada minimnya minat masyarakat untuk mengonsumsi sorgum sebagai bahan pangan alternatif.
Meski begitu, ia menilai Kutim memiliki potensi besar untuk mengembangkan sorgum ke depan.
“Tanah kita subur, apa pun yang ditanam bisa tumbuh baik, termasuk sorgum. Cuma kita lihat dulu situasi pasarnya,” bebernya.
Sementara itu, Wakil Bupati Kutim, Mahyunadi menilai sorgum memiliki nilai ekonomi menjanjikan. Tanaman ini mampu dipanen hingga tiga kali setahun dan menghasilkan gula coklat alami, berbeda dengan tebu yang hanya sekali panen. Namun, pengembangannya di Kutim masih perlu dikaji secara mendalam.
“Potensinya luar biasa, tapi sarana penunjangnya yang belum di Kutim. Kalau di Jawa memang orang tanam menggantikan tebu karena di sana memang ada pabriknya. Kalau di Kutim belum ada pabriknya. Kalau orang mau tanam, jualnya ke mana?” tutur Mahyunadi.
Ia menambahkan, sebelum dikembangkan secara luas, perlu dihitung kelayakan ekonominya dibanding komoditas unggulan daerah seperti sawit.
“Kalau penghasilannya lebih rendah dari sawit, ngapain kita garap? Nah, kalau dia memang lebih unggul dan potensinya sangat bagus, baru kita carikan pemodalnya, carikan investornya untuk bisa bekerja sama dengan petaninya,” tandasnya. (Ronny/teraskata)