TERASKATA.COM, BONTANG – Seorang perempuan yang diduga mengalami gangguan kejiwaan (ODGJ), mengamuk dan merusak sebuah toko. Aksi ini menyebabkan sejumlah kerugian materil bagi korban.
Isu penyerangan dan pengrusakan yang dilakukan oleh diduga ODGJ ini memang sudah semakin marak. Lantas, menjadi persoalan, siapa yang seharusnya bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Menurut Andi Puji Lestari, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Gadjah Mada, sebelum masuk pada persoalan tersebut perlu dipahami, seseorang dikatakan mengalami gangguan kejiwaan perlu pembuktian sebagai hasil penyelidikan dan pengusutan dari pihak berwajib yang menjelaskan secara medis bahwa pelaku terkait memang ODGJ.
“Misalnya dokter spesialis atau lembaga yang berkewenangan mengurusi ODGJ, karena tidak setiap orang punya kompetensi legal untuk memberikan penilaian terhadap status kesehatan orang, makanya pertama tama harus dibuktikan” kata Puji kepada Teraskata, Minggu (2/7/2022).
Jika pelaku terbukti sebagai ODGJ, maka secara hukum, ia diampuni dari persoalan pidana atas perbuatannya yang menyebabkan kerugian bagi pihak korban.
Hal tersebut disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi; ‘Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal’.
“Konsekuensi pidananya hilang. Status ODGJ pada pelaku menghapus alasan ia untuk bertanggungjawab atas perbuatannya sebagaimana mengacu pada pasal 44 KUHP”, tambahnya.
Sementara pada pasal 434 KUH Perdata dijelaskan pihak yang menjadi pengampu bagi seseorang yang memiliki gangguan jiwa, adalah keluarga sedarah.
Keluarga juga merupakan pihak yang menanggung pelaku yang memiliki gangguan jiwa.
Artinya, pihak keluarga pelakulah yang menanggung perbuatan yang dilakukan oleh orang yang di bawah tanggungannya, yaitu termasuk yang mengalami gangguan jiwa itu.
Hal ini berdasarkan Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata; ‘Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya’.
Pihak korban yang dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui jalur perdata kepada pihak keluarga pelaku.
“ODGJ secara hukum hidup dibawah pengampuan dan UU mengatur bahwa keluarga menjadi pengampu tersebut. Tentu masalahnya, kalau ODGJ ini tidak punya keluarga, atau keluarga tidak berkemampuan secara finansial, disitu pemerintah harus mengambil tanggungjawab untuk memberikan solusi dan penyelesaian bagi masalah ini.” tandasnya. (Iwan)





